Metodologi Studi Islam
Oleh : Lato Hardi
Bagaimanakah Islam, sebagai agama terakhir, yaitu agama sepanjang zaman dan untuk semua generasi yang akan datang, yang tak lagi membutuhkan lagi pelengkap dapat memuaskan segala kebutuhan semua orang di mana pun dan kapanpun ? dengan kata lain, bagaimana seseorang dapat menyajikan sesuatu model Islam yang tepat dan bagaimana caranya mencapai model tersebut di zaman modern ? bagaimana seseorang dapat menjadi muslim dan pada saat yang sama hidup dengan sukses di zamannya. Apakah Islam bertentangan dengan modernitas dan perubahan zaman di mana seorang muslim dapat terpaksa menyerah kepada modernitas ataukah keduanya harmonis satu sama lainnya ? dapatkah Islam, agama terakhir, yang secara alami mempuyai prinsip-prinsip yang tetap dan kekal dapat harmonis dengan modernitas yang pada esensinya melangsungkan perubahan dan transformasi ?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan diatas, metodologi sangat penting ketika memahami suatu objek yang akan dikaji, karena banyak orang yang penguasaan salah satu ilmu keislaman yang cukup mendalam, tetapi kurang memahami disiplin ilmu keislaman yang lainnya. Bahkan beranggapan bahwa ilmu-ilmu yang lain sangat rendah di bawah ilmu yang pelajarinya. Seperti ilmu fiiqh pernah menjadi primadona dan mendapatkan perhatian yang cukup besar. Akibatnya segala problema yang ditanyakan selalu dilihat dari perspektif fiqh, padahal belum tentu pendekatan yang digunakan akan mendapatkan sesuatu yang baik. Selanjutnya, teologi dianggap sebagai primadona dikalangan masyarakat, yang pada akhirnya segala problem selalu dipandang melalui teologi semata. Di lain pihak muncul paham keislaman yang bercorak tasawuf yang terkesan kurang menyeimbangkan kehidupan akhirat dan dunia Berdasarkan beberapa contoh diatas terlihat terlalu parsial dan tidak komprehensif ketika memahami tentang keislaman, sekalipun, sudah ada sebagian tokoh reformis yang memahami islam secara utuh dan komprehensif. Seperti, Muhammad Abduh (pembaharu dari Mesir), Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman (pembaharu dari Pakistian), serta Harun Nasution dan Nurcholis Majid (pembaharu dari
Menurut Amin Abdullah, titik tolak kesulitan pengembangan skup wilayah kajian Islamic studies, berakar dari sukarnya seorang agamawan membedakan antara normativitas dan historisitas. Pada tataran normativitas sepertinya Islam kurang tepat jika dikatakan suatu disiplin ilmu, tetapi pada tataran historisitas tidak salah jika dikatakan demikian. Dikatakan demikian karena Islam sudah banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat doktrin-doktrin (merasa paling benar) apologis, sehingga menjadikan Islam terkurung dalam statis dan stagnan. Islam terkesan tidak menerima paradigma baru yang akan membawa Islam kepada kecemerlangan.
Sepanjang sejarah sejak masa-masa awal sudah tejadi semacam ketegangan antara doktrin teologis Islam dengan realitas sosial. Namun, dalam tataran praktis, Islam “terpaksa” mengakomodasi budaya lokal ketika doktrin al-Qur’an tentang fikih umpamanya dirinci. Pada saat itu pulalah para ahli fikih terpaksa mempertimbangkan faktor-faktor sosial budaya -betapa pun kecilnya. Karena itulah terciptanya perbedaan-perbedaan antara para imam mazhab, bahkan Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat yang berbeda ketika ketika berada di Mesir dan di Irak.
Di Indonesia, khususnya di Sumatra Barat, ketegangan ini juga terjadi seperti pembagian harta waris. Menurut adat harta waris diturunkan kepada keponakan, sedangkan menurut Islam kepada anak dengan ketentuan anak laki-laki dua kali anak perempuan. Buya Hamka awalnya mengecam hukum adat tersebut karena bertentangan dengan hukum Islam, tetapi akhirnya dia berpendapat bahwa hukum yang diperoleh dari suami istri, harus diwariskan sesuai dengan hukum Islam, tetapi harta waris “lama” (pusako) tetap menurut adat.
Oleh karena memahami tentang studi keislaman tidak bisa hanya dikaji melalui satu pendekatan normatif saja yang cenderung akan membawa kepada subyektifitas dalam memahami agama . Setidaknya ada berbagai pendekatan didalam memahami agama seperti, melalui pendekatan teologis normatif, antropolgis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan, psikologis dan tipologi. Hal ini sangat perlu, melalui berbagai pendekatan ini kehahiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya, tanpa mengetahui pendekatan tersebut, agama akan sulit dipahami oleh masyarakat dan tidak fungsional.
Harapan kebangkitan Islam khususnya di
Buku :
Prof.Dr.H.
Drs. Atang Abd. Hakim,MA dan Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Study Islam
0 komentar:
Posting Komentar