Sabtu

Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani



PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI

[Tinjauan Filosofis]

A. Pendahuluan

Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebahagian pejabat pemerintah,

politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang masyarakat madani (sebagai

terjemahan dari kata civil society). Tanpaknya, semua potensi bangsa Indonesia

dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang merupakan cita-

cita dari bangsa ini. Masyarakat madani diprediski sebagai masyarakat yang

berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Demikian pula,

bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju masyarakat madani,

untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mengalami perubahan yang fundamental

yang tentu akan berbeda dengan kehidupan masayakat pada era orde baru. Kenapa,

karena dalam masyarakat madani yang dicita-citakan, dikatakan akan memungkinkan

"terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan

masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan

[pluraliseme]" , serta taqwa, jujur, dan taat hokum [Bandingkan dengan Masykuri

Abdillah, 1999:4].

Konsep masyarakat madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan

berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan.

Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan

suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata

filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi

dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan

memenuhi kegagalan".

Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam

menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena "pendidikan sarana terbaik yang

didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan

kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh

secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari

adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia

[Conference Book, London, 1978:16-17]. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas,

maka masalah yang perlu dicermati dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah

pendidikan Islam didisain menuju masyarakat madani Indonesia.

1. Konsep Masyarakat Madani

Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam

wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia

lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai

terjemahan kata civil society atau al-muftama' al-madani. ....Istilah civil society pertama

kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis,

namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya

identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga

masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" [seperti himpunan

ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] serta

organisasi sipil dari semua kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan

usahawan] berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka

dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan

mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya

kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-


nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan

dan kemajemukan [pluralisme] [Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan menurut,

Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid

yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya

terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah",

dan atau "parama" dan "dina"]. Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah

agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah

peradaban [madani] [Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268].

Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah,

memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi

dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan

Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara

memberi atribut keislaman madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena itu, civil

society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di [kota]

Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi

berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan

kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat [kota] Madinah

sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan

masyarakat ideal dalam konsep civil society"[Thoha Hamim, 1999:4].

Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah

[masyarakat agama dan masyarakat madani] memilki akar normatif dan kesejarahan

yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan

sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota

peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat

Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad

untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan

masyarakat Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk kondisi

Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat

Modern.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah

suatu komunitas masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga

masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan

agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan

[persamaan], penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan

[pluralisme], dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat

madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di

bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.

Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat

tersebut. Antonio Rosmini, dalam “The Philosophy of Right, Rights in Civil Society

[1996: 28-50] yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat

sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: Universalitas,

supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan [prevalence of force] adalah empat ciri

yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama".

Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam

memanfaatkan kesempatan [the tendency to equalize the share of utility]. Keenam, jika

masyarakat madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" [the common good],

kujuan akhir memang kebajikan publik [the public good]. Ketujuh, sebagai "perimbangan

kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan

dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih

kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk


mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan,

masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan

[seigniorial or profit]. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru

memberi manfaat [a beneficial power]. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi

kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus

seragam, sama dan sebangun serta homogin [Mufid, 1999:213].

Lebih lanjut, menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari

berbagai warga beraneka "warna", bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakar

madani di sebut sebagai masyarakat "multi-kuota" [a multi quota society]. Maka, secara

umum sepuluh ciri tersebut sangat idial, sehingga mengesankan seolah tak ada

masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin

oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang, masyarakat seideal

masyarakat “madinah” telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya,

"tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik

masa adalah masaku" [ahsanul qurun qarni] - terlepas dari status sahih dan tidaknya

sabda ini, ataupun siapa periwayatnya [Mufid, 1999:213-214]. Diakui bahwa masyarakat

Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype

masyarakat idial. Maka, prototype masyarakat madani tersebut, pada era reformasi ini,

nampaknya akan upayakan untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan

ditiru dalam wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.

2. Pendidikan Islam

Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu

membahas apa itu pendidikan? Menurut M.J. Langeveld ; "Pendidikan merupakan

upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan [Kartini Kartono,

1997:11]. Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan

secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik

menuju terbentuknya keperibadian yang utama [Ahmad D. Marimba, 1978:20]. Demikian

dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor : 2 Tahun 1989, "pendidikan

dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan

bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang.

Sedangkan, "pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau

semua usaha generasi tua untuk mengalihkan [melimpahkan] pengetahuannya,

pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai

usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah

maupun rohaniah [Zuhairin, 1985:2].

Para ahli Filsafat Pendidikan, menyatakan bahwa dalam merumuskan pengertian

pendidikan sebenarnya sangat tergantung kepada pandangan terhadap manusia;

hakikat, sifat-sifat atau karakteristik dan tujuan hidup manusia itu sendiri. Perumusan

pendidikan bergantung kepada pandangan hidupnya, "apakah manusia dilihat sebagai

kesatuan badan dan jasmani; badan, jiwa dan roh, atau jasmani dan rohani? Apakah

manusia pada hakekatnya dianggap memiliki kemampuan bawaan [innate] yang

menentukan perkembangannya dalam lingkungannya, atau lingkungannyalah yang

menentukan [domain] dalam perkembangan manusia? Bagimanakah kedudukan

individu dalam masyarakat? Apakah tujuan hidup manusia? Apakah manusia dianggap

hanya hidup sekali di dunia ini, ataukah hidup lagi di hari kemudian [akhirat]? Demikian

beberapa pertanyaan filosofis" yang diajukan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas , memerlukan jawaban yang

menentukan pandangan terhadap hakekat dan tujuan pendidikan, dan dari sini juga

sebagai pangkal perbedaan rumusan pendidikan atau timbulnya aliran-aliran pendidikan


seperti; pendidikan Islam, Kristen, Liberal, progresif atau pragmatis, komunis,

demokratis, dan lain-lain. Dengan demikian, terdapat keaneka ragaman pendangan

tentang pendidikan. Tetapi, "dalam keanekaragaman pandangan tentang pendidikan

terdapat titik-titik persamaan tentang pengertian pendidikan, yaitu pendidikan dilihat

sebagai suatu proses; karena dengan proses itu seseorang [dewasa] secara sengaja

mengarahkan pertumbuhan atau perkembangan seseorang [yang belum dewasa].

Proses adalah kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang sesuai dengan nilai-

nilai yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Maka,

dengan pengertian atau definisi itu, kegiatan atau proses pendidikan hanya berlaku

pada manusia tidak pada hewan" [Anwar Jasin, 1985:2].

Dari uraian di atas, timbul pertanyaan apakah Pendidikan Islam itu? Pendidikan

Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu

rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka

terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan

sangat sadar akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2],

atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia pada

perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman an-

Nahlawi, 1995:26].

Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar

"transper of knowledge" ataupun "transper of training", ....tetapi lebih merupakan suatu

sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang

terkait secara langsung dengan Tuhan [Roihan Achwan, 1991:50]. Dengan demikian,

dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja

perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok

pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia

kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam

membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan

adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan

hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan

anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits [Anwar

Jasin, 1985:2].

Jadi, dapat dikatakan bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya

melihat pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata [pendidikan intelek,

kecerdasan], melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat

eksistensinya. ...Maka,..pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat

terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan [eksistensi] manusia. Oleh

karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan

kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak

pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara

kualitatif" [M.Rusli Karim, 1991:29-32].

Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada

manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan

Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan

akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain: Pertama, konsep Islam

tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits

Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu

[Anwar Jasin, 1985:2]. Dalam al-Qur'an, dikatakan "tegakkan dirimu pada agama

dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan

oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....[ar-Rum : 30]. Dengan demikian,

manusia pada mulanya dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu

dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori


tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya,

sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate

tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah [Anwar Jasin,

1985:3]. Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah

mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan,

firman Allah surat al-A'raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan

Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri;

"Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang

demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal

ini" [Zaini Dahlan, 1998:304]. Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi gambaran

bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau

disebut dengan "tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisik

dan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan

keterbatasannya.

Selain itu, dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan

sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara

pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa

manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas

perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut

kodrat atau fitrah-nya [pada al-Mu'minun:115 dan al-Baqrah:286]. Selain itu juga

manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul

amanah [pada al-Ahzab : 72]. Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi

pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya

tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa

melibatkan orang lain [pada Faathir:18]. Sifat lain yang ada pada manusia adalah

manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan [fasih perkataan - kesadaran nurani]

yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan

berkomunikasi dengan bahasa yang baik [pada ar-Rahman:3-4]. Pada hadits

Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan

ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan

barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dari pandangan ini, dapat

dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja

segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang

menjadi seorang muslim yang baik. Kedua, peranan pendidikan atau pengarah

perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa

dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila

dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik

mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul

amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota

masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. Ketiga, profil manusia

Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah.

Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada

pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan

sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan

seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa

seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu

berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses

belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student active

learning] [Anwar Jasin, 1985:4-5].

Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi

bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi

0 komentar:





 
© Copyright 2008 your blog name . All rights reserved | your blog name is proudly powered by Blogger.com | Template by Template 4 u and Blogspot tutorial